Senin, 09 Agustus 2010

CACIAN ADALAH PUJIAN YANG TERBAIK

Seorang ibu yang hendak pergi ke pasar di tengah jalan ditegur seseorang karena wajahnya cemong atau ada kotoran hitam. Bagaimana sikap ibu itu terhadap teguran orang tersebut? Apakah dia marah atau senang menerimanya?
Pasti dia tidak akan marah. Justeru sebaliknya, dia akan tersenyum dan sangat berterima kasih atas teguran tersebut meskipun dia belum melihat apakah hal itu benar atau tidak? Setelah itu dia akan melihat cermin untuk memeriksanya.
Mengapa sikap seperti itu tidak kita terapkan dalam kehidupan kita?

Suatu saat kita dicela atu digunjingkan oleh orang lain atas suatu kekurangan kita, atau kita dihina atau direndahkan. Apakah kita akan marah atau senang menerimanya?
Apabila kita marah lantas melabrak orang yang menghina kita atau membalas dengan penghinaan, apa yang akan kita dapatkan? Apakah keadaan kita akan menjadi baik dengan langkah itu yang hanya mencari kepuasan hati dengannya?
Coba kita ambil sikap seperti ibu-ibu tadi, tersenyum, lalu mengintrospeksi diri, apakah kita memang seperti itu atau tidak.
Terlepas apakah kita itu benar atau tidak seperti yang kita dengar tentang kita, kita tetap harus selalu memperbaiki diri kita. Karena ada kesalahan yang tanpa kita sadari membuat suatu cemong di wajah kita. Musuh yang terbesar adalah hawa nafsu kita. Saat rasa iri, emosi, benci, keangkuhan datang, kita wajib memeranginya. Karena apa yang kita anggap sebagai kepuasan hati dengan mengikuti perasaan itu sebenarnya bukan merupakan kebaikan buat kita. Sedangkan kesabaran, kebaikan, dan keikhlasan yang kita anggap berat dan tidak menguntungkan itu sebenarnya adalah kebaikan buat kita.

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 2 ayat 216)

Kita tidak boleh patah hati, panas hati, dan retak hati cuma karena omongan tentang kita yang tidak menyenangkan hati kita. Anggap saja orang yang mencibirkan dan menggunjingkan kita itu seorang pengamen biskota yang bernyanyi dengan suara yang tidak enak, wajah yang tidak simpatik, dan menyebalkan. Kita tidak mungkin turun dari biskota karena dia kan?

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13 ayat 28)

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. 89 ayat 27-30)

Basahilah bibir dan hati kita dengan kalimat Tuhan, selalu bersyukur dan rendah hati agar senantiasa ia tetap basah. Jangan keringkan bibir dan hati dengan jarang sekali mengingat Allah baik melalui shalat maupun membaca Al Qur’an dan selalu mengikuti hawa nafsu. Ranting kayu yang basah dan segar sulit untuk dibakar dan dipatahkan. Sebaliknya, ranting kayu yang kering dan layu mudah sekali dipatahkan dan dibakar.
Selalu tersenyum dalam menghadapi hal-hal tersulit dan menyakitkan hati, di antaranya mendengarkan cacian dan makian terhadap kita. Tidak ada yang berubah pada wajah kita karenanya. Jadi, mengapa mesti risau? Anggaplah cacian dan makian itu adalah pujian terbaik yang kita terima dan anggap saja mereka cuma pengamen jalanan yang menyanyikan lagu dan suara yang tidak merdu terdengar. Jangan turun sebelum tujuan kita tercapai!





Print halaman ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar